Ditulis oleh Herdini Primasari
Sudah ditayangkan di herdiniprimasari.medium.com

Siapa di sini yang pernah menonton film animasi buatan Pixar Animation yang berjudul Inside Out? Saya pernah menonton film ini di salah satu kelas saya pada saat S1, it turns out I really liked the movie as well. Film yang tayang pada tahun 2015 ini membawakan tema yang menarik bagi saya, yaitu tentang emosi manusia. Hal yang menjadi poin plus dari film ini adalah mereka dapat membawakan materi yang sebetulnya cukup berat dengan sederhana dan mudah dipahami oleh orang awam pada umumnya. Bagi kamu yang belum menonton, bisa menonton terlebih dahulu. Atau jika kamu tidak masalah untuk mencari ringkasan ceritanya dari internet, waktu dan jaringan disilahkan :).
Film ini menceritakan tentang bagaimana personifikasi emosi seorang anak perempuan bernama Riley dan bagaimana mereka saling berinteraksi satu sama lain sehingga menimbulkan reaksi atau perilaku tertentu dari Riley. Emosi dasa tersebut antara lain Bahagia (Joy), Sedih/Kesedihan (Sadness), Takut (Fear), Jijik (Disgust), dan Marah/Kemarahan (Anger). Dari kelima emosi tersebut, emosi Bahagia yang menjadi pemimpin di antara mereka dan keseluruhan emosi yang ada terus berusaha untuk membatasi ruang gerak emosi Kesedihan (Sadness). Pada saat Riley berusia 11 tahun, ia dan kedua orang tuanya pindah ke San Fransisco. Kepindahannya tersebut membuatnya berjarak dengan ayahnya dan makanan kesukaannya, pizza, hanya ada yang ber-topping brokoli, sedangkan Riley benci brokoli.
Kemudian saat Riley memasuki sekolah barunya, ada beberapa pengalaman yang membuat Riley sedih, sehingga memori yang tersimpan kurang begitu baik. Mengetahui hal tersebut, Joy berusaha untuk ‘membuang’ memori tersebut namun secara tidak sengaja membuat memori lainnya juga ikut terlepas sehingga membuat ‘pulau kepribadian’ Riley menjadi tidak aktif. Joy dan Sadness pun ikut ‘tersedot’ dari Headquarters saat sedang berebut inti memori tersebut. Selama Joy dan Sadness tidak ada di headquarters, emosi lainnya seperti Anger, Disgust, dan Fear mencoba mengambil alih peran yang kosong tersebut namun ternyata mereka membuat kekacauan sehingga Riley menjadi semakin jauh dari kedua orang tua, teman-teman, serta hobi yang dimiliki oleh Riley. Hal ini berdampak pada banyaknya memori yang kemudian ‘terlupakan’ dan terbuang ke “memories dump”. Akhirnya Anger menjalankan rencana terakhir, yaitu membuat Riley kabur dari rumahnya dan pergi ke Minnesota.
Joy dan Sadness berusaha kembali ke headquarters dari tempat mereka saat ini dengan menggunakan bantuan Bing Bong, teman imajinernya Riley. Ia menyarankan pada Joy & Sadness untuk menggunakan “train of thoughts” dari Riley. Ada kesulitan yang ditemui selama perjalanan, yaitu selama Riley tertidur, “train of thoughts” menjadi tidak berfungsi sehingga membuat mereka terjatuh dan tidak bisa mencapai headquarters seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Saking putus asanya, Joy kemudian meninggalkan Sadness untuk pergi ke headquarters dengan menggunakan recall tube, tetapi juga tidak berhasil. Joy terlempar ke Memory Dump dan hal tersebut membuatnya kecewa. Namun, di sana ia menemukan beberapa core memory yang akhirnya menyadarkan Joy akan fungsi dari Sadness, yaitu sebagai reminder kepada orang lain ketika Riley sedang tidak baik-baik saja secara emosional dan membutuhkan bantuan. Setelah Joy dan Sadness sudah bisa kembali ke headquarters, Joy mendapati bahwa Riley sedang dalam usaha untuk kabur dari San Fransisco ke Minnesota dan Anger telah mematikan ‘konsol’ emosi sehingga membuat Riley menjadi apatis. Joy kemudian mengarahkan Sadness untuk menyentuh konsol emosi tersebut, pelan-pelan hal tersebut mengembalikan ‘emosi’ Riley dan akhirnya Riley kembali pulang ke rumah barunya dan bercerita tentang bagaimana perasaannya ketika mereka harus pindah dari Minnesota.
Hal yang menarik untuk saya, personifikasi 5 emosi dasar yang dimiliki oleh Riley memiliki jenis kelamin yang berbeda, sedangkan ayah ibunya dan beberapa tokoh lain diketahui memiliki personifikasi emosi dengan jenis kelamin yang sama (ibunya dengan 5 emosi yang keseluruhannya perempuan, ayahnya dengan seluruh personifikasi emosinya laki-laki). Bisa jadi hal ini berkaitan dengan perkembangan “self-concept” menurut Baumeister (1999), yaitu tentang kepercayaan seseorang akan siapa dirinya, termasuk atribut apa saja yang dimiliki. Jika dijelaskan dengan teori perkembangan kognitif Piaget, biasanya anak-anak mulai mengembangkan konsep yang lebih operasional pada usia 7–11 tahun di mana ia mulai semakin menyadari tentang apa yang terjadi di luar dirinya. Setelah itu mulai memasuki tahapan di mana ia bisa memahami hal-hal yang bersifat lebih abstrak.

From <https://www.healthline.com/health/piaget-stages-of-development#stages>
Nah, kita juga tadi banyak membicarakan tentang emosi, tetapi kita belum kenalan lebih lanjut dengan siapa “dia”. Emosi itu apa sih? Apakah dia sejenis makanan yang mudah kita temui di minimarket? Bukan! Menurut Fischer (1966), emosi diartikan sebagai suatu indikasi baik dari tubuh maupun psikologis seseorang di mana suatu peristiwa dapat mempengaruhi individu secara pribadi. Ada beberapa terms yang juga termasuk dalam payung emosi ini, yaitu :
- Feeling. Dalam hal ini, yang termasuk juga dalam feeling yaitu mengalami sensasi tubuh (body sensations), seperti rasa mual, palpitasi, kelegaan, dan lain sebagainya
- Being affected. Individu dapat ‘dikejutkan’ dari implikasi yang berkaitan dengan situasi yang dialami
- Stance. Hal ini berkaitan dengan bagaimana sikap yang seseorang akan ambil setelah ia terpengaruh dari peristiwa yang dialami. Ada yang akan menerima, menolak/memilih mundur, menyangkal, memprotes, merayakannya, dan lain sebagainya.
Perbedaan di antara ketiganya dapat membantu kita dalam melacak bagaimana momen-momen temporal dari ketika kita terpengaruh (misal: jadi gak sabaran) kemudian menjadi suatu sikap emosional tertentu (misal: jadi mudah marah)


Sumber: Scherer (Borod, 2000)
By the way, pernah nggak sih kamu mendengar suatu ‘pepatah’ yang mengatakan bahwa manusia itu didorong oleh sisi emosionalnya? Yuk kita ulik lebih lanjut
Perhatian (attention) yang kita tujukan pada informasi yang masuk dapat memacu ingatan kita terhadap hal tersebut, dan biasanya perhatian akan tertuju pada informasi yang menurut kita penting pada saat ini (Lazarus, 1991 dalam Ochsner & Schacter, 2000). Tujuannya sederhana, misalnya untuk menghindari kerusakan pada fisik maupun emosional, atau yang lebih spesifik seperti berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menenangkan teman yang sedang panik, dan lain-lain. Dengan begitu, penilaian akan pentingnya rangsangan atau stimuli tersebut bagi individu dalam situasi dan tujuannya saat ini dapat membangkitkan emosi yang berbeda tergantung pada orang dan objek yang terlibat dan tujuan dan kebutuhan mana yang paling penting saat ini (Frijda, 1986; Lazarus, 1991 dalam Ochsner & Schacter, 2000) .Setiap emosi merupakan hasil dari penilaian individu terhadap berbagai jenis relevansi diri: misalnya, kita mungkin sedih jika kita memikirkan tentang kemungkinan kehilangan orang yang dicintai karena penyakit, marah jika kita mengaitkan tanggung jawab atas hasil ini dengan kegagalan dokter untuk memberikan perawatan yang tepat, atau penuh harapan jika kita merasa bahwa perawatan medis dapat menghasilkan kesembuhan (Lazarus, 1991 dalam Ochsner & Schacter, 2000). Kemudian, kemampuan informasi emosional (terutama yang mengancam) untuk menarik dan menahan perhatian kita dapat membantu menjelaskan mengapa seseorang memiliki kecenderungan untuk mengingat kembali informasi yang paling relevan untuk akhirnya menggali signifikansi afektif dari sebuah stimulus dan menyebabkan informasi lainnya menjadi ‘menderita’ (Ochsner & Schacter, 2000).
Oke, jadi sejauh ini sudah ada sedikit bayangan, belum, gimana hubungan antara keduanya? Oh iya, saya masih punya tambahan sedikit, nih! Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Ferrel, Watford, & Braden (2020) untuk meneliti tentang bagaimana pengaruh dari kesulitan meregulasi emosi dan mengalami gangguan pada working memory terhadap fenomena emotional eater menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesulitan dalam regulasi emosi dan working memory bisa meningkatkan fenomena emotional eater yang dialami oleh individu tersebut sebagai respon atas kebosanan.
So, jangan lupa yuk buat take care sama diri kita sendiri, baik dari segi fisik maupun psikologis kita!
Referensi
- Baumeister, R. F. (Ed.) (1999). The self in social psychology. Philadelphia, PA: Psychology Press (Taylor & Francis)
- Ferrell, E. L., Watford, T. S., Braden, A. (2020). Emotion regulation difficulties and impaired working memory interact to predict boredom emotional eating. Appetite, 144(2020), 1–5
- Fischer, C. T(1996). A Humanistic and Human Science Approach to Emotion. Handbook of Emotion, Adult Development, and Aging, 67–82. doi:10.1016/b978–012464995–8/50005–4
- Ochsner, K. N., & Schacter, D. L. (2000). A social cognitive neuroscience approach to emotion and memory. In J. C. Borod (Ed.), The neuropsychology of emotion (pp. 163–193). Oxford University Press.
- Scherer, K. R. (2000). Psychological model of emotion. In Borod, J. C. (2000). Neuropsychology of emotion. Oxford University Press: New York.
- Frontiers | “I” and “Me”: The Self in the Context of Consciousness | Psychology (frontiersin.org)
- Piaget Stages of Development: What Are They and How Are They Used? (healthline.com)
- Self Concept | Simply Psychology