Menikah: To Be or Not To Be?

Kapankah kamu akan menikah?

Sebuah pertanyaan pendek yang akan memiliki beragam jawaban dan emosi.
Ya, setiap orang mempunyai persepsinya masing masing dalam memandang sebuah perkawinan. Bagi sebagian besar orang Indonesia, menikah merupakan satu tujuan penting dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang telah memasuki umur dewasa, yang kebanyakan ditandai dengan kelulusan kuliah dan mulai berkarir, maka secara tidak langsung akan ada tekanan masyarakat untuk melanjutkan ke fase hidup selanjutnya, menikah.   

Setelah selesainya hiruk pikuk pesta pernikahan, kamu akan dihadapi dengan kehidupan yang sebenarnya. Maka dalam artikel kali ini, Sahabat Jiwa akan menguraikan poin apa saja yang dapat dijadikan pertimbangan sebelum kamu memutuskan untuk membina sebuah rumah tangga, yaitu:

1. Pengharapan. Pentingnya menanyakan hal ini kepada diri sendiri merupakan awal penting untuk sebuah hubungan.
Apakah harapanmu pada pasangan setelah menikah?
Apakah kamu berharap pasangan akan selalu menjadi dirinya seperti saat ini?

Sebuah pernikahan pasti dilatar belakangi dengan banyaknya harapan yang baik, namun perlu diketahui juga bahwa sebuah hubungan tidak akan stagnan selamanya. Dalam perjalanannya, pernikahan akan mengalami berbagai masalah dan cobaan. Jika kamu merasa siap menikah, tanyakan kembali apakah harapanmu dalam sebuah pernikahan tersebut.
Cukup realistis kah harapan tersebut?
Siapkah untuk mengintrospeksi diri jika dirasa harapan yang ada ternyata tidak masuk akal? 

Expectation breeds resentments
-Unknown

2. Manajemen konflik. Pernikahan membutuhkan tingkat kedewasaan tersendiri, yang harus datang dari kedua belah pihak. Tahun tahun pertama pernikahan biasanya pasangan akan mengalami berbagai masalah, yang disebabkan oleh perbedaan individu, dan dalam setiap permasalahan diperlukan kematangan emosi agar masalah tidak berlarut larut. Seseorang yang siap menikah ditandai dengan rasa toleransi yang besar untuk menerima kelebihan serta kekurangan pasangan, serta berjiwa besar untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

3. Persimpangan antara eksistensi profesional dengan rumah tangga.
Hal ini lebih fokus bagi kaum perempuan, dimana saat kalian sudah meraih jenjang pendidikan tinggi dan mulai mandiri secara profesional, pilihan untuk menikah punya tantangannya tersendiri. Di Indonesia sendiri yang penduduknya masih memegang nilai-nilai patriarki, menganggap bahwa tugas pengurusan rumah tangga dan membesarkan anak masih menjadi tugas utama seorang ibu. Tugas tradisional ini akan mengalami konflik nantinya dengan keinginan seorang perempuan untuk meneruskan ambisi berkarirnya.  Di negara negara maju, urusan rumah tangga dan pengurusan anak pun masih merupakan masalah yang sensitif, sesuai dengan berbagai penelitian yang ditemukan bahwa kaum laki laki pada umumnya berkontribusi jauh lebih sedikit.

Saat memutuskan untuk menikah, siapkan waktu khusus untuk membahas hal ini dengan pasanganmu.
Apakah pasanganmu ingin memiliki anak?
Berapakah jumlah anak yang diinginkan?
Bagaimana metode membesarkannya?
Siapakah yang nantinya akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk merawat anak anak sehari hari?
Dan rangkaian pertanyaan lainnya yang dirasa penting agar kamu tidak kaget saat mengetahui ternyata pola pikir pasanganmu tentang konsep berkeluarga jauh berbeda.

4. Tujuan kebahagiaan.
Apakah kebahagiaanmu hanya berasal dari sebuah pernikahan?
Apakah kamu ingin menikah karena telah menemukan orang yang tepat atau karena tekanan lingkungan?
Apakah kamu tidak bisa bahagia dari hal hal lain dalam hidup ini?

Tidak bisa dipungkiri film-film romansa dan cerita khayalan mengenai putri raja yang diselamatkan oleh seorang pangeran yang kerap diceritakan saat kanak-kanak sedikit banyak membawa dampak akan bagaimana kita melihat sebuah pernikahan. Banyak yang tidak sadar menganggap bahwa pernikahan adalah sebuah jalan untuk mendapatkan rasa kebahagiaan seseorang, and the prince and the princess lived happily ever after..

Tekanan lingkungan juga salah satu alasan mengapa pernikahan harus dilakukan jika seseorang telah melewati batas umur tertentu, terlepas dari apakah calon pasangan adalah seseorang yang tepat atau tidak.

5. Tuntutan moral dan agama.
Di Indonesia, menikah masih merupakan satu-satunya jalan yang bisa diterima oleh masyarakat untuk melangsungkan pemenuhan kebutuhan seksual dan wadah dimana manusia bisa berprokreasi, alias melahirkan anak-anak untuk melanjutkan nama keluarga. Oleh sebab itu, tidak aneh ketika tuntutan moral agama dimasukkan ke dalam konsep pemenuhan kebutuhan seks tersebut sehingga timbul fenomena “kawin muda”, untuk menghindari terjadinya azab pelanggaran nilai-nilai agama. Sebelum memutuskan kawin muda, perlu diketahui bahwa perkawinan tidak hanya fokus pada kebutuhan seksual dan prokreasi.
Pernikahan adalah komitmen dan tanggung jawab, bukan hanya untuk kamu dan pasangan, tetapi juga ke masyarakat dan calon anak anak kalian.


Lalu?

Jika kamu sudah menemukan seseorang yang dirasa tepat, tentu memilih untuk menikah menjadi momen yang bahagia. Tetapi, jika pilihan menikah hadir hanya karena tuntutan umur atau tekanan sosial, tentu saja hal ini bukanlah solusi yang tepat. 

Gambaran bahwa kita akan memiliki seseorang untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, melewati waktu bersama hingga tua, serta mempunyai seseorang dalam mencapai mimpi bersama merupakan gambaran indah mengenai pernikahan, namun di baliknya terdapat kerja keras, toleransi, dan kemampuan untuk terus belajar dan adaptasi.

Apa pun keputusanmu, memilih menikah atau meneruskan menjadi jomblo, semua harus dipikirkan secara seksama dengan mempelajari sifat dan kepribadian kita dan pasangan, serta tahu bagaimana berkompromi dengan hal tersebut.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: